BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan
kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang
melaksanakan pendidikan ditempat-tempat tertentu, tidak mesti dalam lembaga
pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di surau, di rumah, dan
sebagainya (Syaiful Bahri Djamarah, 1997:31).
Ketika
semua orang mempersoalkan masalah masalah dunia pendidikan, figur guru mesti terlibat
dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut masalah persoalan pendidikan
formal disekolah. Hal ini tidak dapat disangkal, karena lembaga pendidikan
formal adalah dunia kehidupan guru.
Guru
secara formal adalah pendidik yang berada di lingkungan sekolah yang mempunyai
tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar (SD), dan pendidikan menengah.
Selain
itu, guru juga mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan moral
siswa disekolah. Karena selain sebagai tenaga pengajar guru juga mempunyai
tugas untuk mendidik siswa agar moralitas mereka menjadi lebih baik. Lebih
jelasnya, guru adalah figure seorang pemimpin, sosok arsitektur yang dapat
membentuk jiwa dan watak anak didik.
Namun
begitu, seorang yang berstatus guru tak selamanya dapat menjaga wibawa dan
citra sebagai guru dimata anak didik dan masyarakat. Ternyata masih ada
sebagian guru yang mencemarkan wibawa dan citra guru. Di media massa (cetak dan
elektronik), sering diberitakan tentang oknum oknum guru yang melakukan suatu
tindakan asusila, asosial dan amoral.
Perbuatan
itu tak seharusnya dilakukan oleh seorang guru. Lebih fatal lagi apabila
perbuatan yang tergolong dalam tindakan kriminal itu dilakukan terhadap anak
didik sendiri. Kepribadian adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan guru
dengan anak didik. Kepribadian guru tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam
membimbing anak didik.
Pada
buku Anak Didik Dalam Interaksi mengatakan, ’’No
one can be a genuine teacher unless he is himself actively sharing in the human
attempt to understand men and their word.’’ Jadi, tidak seorang pun yang
dapat menjadi seorang yang sejati (mulia) kecuali bila dia menjadikan dirinya
sebagai bagian dari anak didik yang berusaha untuk memahami semua anak didik
dan kata-katanya.
Guru yang dapat memahami tentang kesulitan
anak didik dalam hal belajar dan kesulitan lainnya diluar masalah belajar,
terutama yang bisa menghambat aktivitas belajar anak didik. Pengertian belajar
dalam hal ini menurut Ngalim Purwanto (2003: 84) adalah perubahan yang relatif
menetap dalam tingkah laku yang terjadi dalam suatu hasil latihan atau
pengalaman.
Sedangkan
menurut W.S. Winkel (1987:3 6), belajar yaitu suatu aktifitas mental/ psikis
yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan sikap.
Dalam
undang-undang dasar tentang pendidikan dan kebudayaan dijelaskan, pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang undang. Dalam rangka menanamkan keimanan
dan ketaqwaan serta ahlak mulia pada peserta didik tersebut, peran guru sebagai
motivator penggerak siswa sangat berpengaruh. Butuh kepribadian yang bagus,
baik dari segi psikis ataupun fisik.
Setiap guru mempunyai kepribadian
masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri ciri inilah
yang membedakan seorang guru dengan guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah
suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan, tindakan,
ucapan, cara berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan. Kepribadian
yang sesungguhnya adalah abstrak (ma’nawi), sukar dilihat atau diketahui secara
nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi
dan aspek kehidupan.
Misalnya dalam tindakan, ucapan, cara bergaul,
berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang
ringan maupun yang berat. Pendek kata, guru hendaknya dapat dijadikan sebagai
sosok pribadi yang mulia dalam memimpin peserta didiknya, karena kewajiban guru
adalah menciptakan ’’khairunnas’’, yaitu menciptakan manusia yang baik sesuai
dengan pancasila.
MS Kaelan (2000: 12), mengemukakan bahwa
sangat penting bagi para penerus bangsa terutama kalangan intelektual kampus
untuk mengkaji, memahami, dan mengembangkan moral berdasarkan pendekatan
ilmiah, yang pada gilirannya akan memiliki suatu kesadaran serta wawasan
kebangsaan yang kuat berdasarkan nilai-nilai yang dimilikinya sendiri. Dalam
hal ini guru sebagai salah satu intelektual pelopor penerus bangsa harus
menerapkan nilai-nilai pancasila dalam pendidikan.
Untuk
itu, guru harus mempunyai kode etik yang harus dipatuhi dalam menciptakan
peserta didik yang baik. Guru sebagai tenaga professional perlu memiliki kode
etik guru dan menjadikannya sebagai pedoman yang mengatur pekerjaan guru selama
dalam pengabdian. Kode etik guru ini merupakan ketentuan yang mengikat semua
sikap dan perbuatan guru, dalam arti setiap pelanggaran yang terjadi, yang
melenceng dari kode etik guru, akan mendapatkan sanksi sesuai peraturan
perundangan. Berikut dikemukakan kode etik guru Indonesia sebagai hasil rumusan
kongres PGRI XIII pada tanggal 21-25 November 1973 di Jakarta, terdiri dari
sembilan item, yaitu:
1.
Guru
berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya
yang berjiwa pancasila.
2.
Guru
memiliki dan melaksanakan kejujuran professional.
3.
Guru
berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
4.
Guru
menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses
belajar mengajar.
5.
Guru
memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk
membina peran serta dan rasa tanggung jawab terhadap pendidikan.
6.
Guru
secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan
martabat profesinya.
7.
Guru
menjaga hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
8.
Guru
secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai
sarana perjuangan dan pengabdian.
9.
Guru
melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Dengan
adanya kode etik guru yang telah disebutkan di atas, diharapakan para guru SD
pada khususnya dapat menjadikan ketentuan tersebut sebagai suatu patokan dalam
mengajar anak didik agar lebih berkualitas. Disamping dari kode etik di atas,
menurut Slameto (1988: 32), salah satu indikator untuk melihat kualitas
pendidikan diantaranya dengan melihat prestasi belajar siswa.
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas terdapat masalah-masalah yang
berkaitan
dengan penelitian ini. Masalah tersebut di identifikasi sebagai
berikut:
1.
Merosotnya
pergaulan anak usia SD, seperti berkelahi, mencuri, dan lain sebagainya
sehingga Peran Guru Pendidikan agama islam (PAI) sangat berpengaruh dalam
meningkatkan moral siswa.
2.
Peran
guru yang kurang maksimal dalam upaya meningkatkan moral siswa seperti masih
banyaknya ditemukan guru yang sering absen ketempat-tempat tertentu pada jam
pelajaran.
3.
Era
globalisasi mempengaruhi prilaku sosial siswa dan guru, seperti yang dijelaskan
di atas.
4.
Masih
banyaknya guru SD yang hanya berperan sebagai tenaga pengajar saja bagi siswa,
bukan sebagai tenaga pendidik bagi siswa. Guru hanya menanamkan ilmu
pengetahuan secara teoritis, tanpa adanya praktek yang cukup di lapangan.
5.
Bentuk,
cara peningkatan moral siswa oleh guru PAI di SD, seperti mengajarkan bagaimana
bergaul dengan baik, belajar sholat, bersedekah dan lain-lain.
6.
Peran
guru PAI di SD dalam meningkatkan moral siswa, seperti membimbing, mengawasi,
memberi sanksi terhadap prilaku siswa dan lain-lain.