BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Pendidikan
Islam
Menurut bahasa, kata pendidikan dalam bahasa
Arab berasal dari kata “Tarbiyah”. Tarbiyah berasal dari suku kata roba-yarbu yang berarti penambahan,
pertumbuhan, pemeliharaan, dan penjagaan. Az-Zamakhsyari menambahkan makna kata
tersebut dengan “pengajaran” dan “kedudukan tinggi”. Sedangkan Majduddin menambahkan
makna lain, yakni memberi makna dan kemuliaan.
Adapun menurut istilah, pendidikan diartikan
sebagaimana pendapat beberapa ulama, sebagai berikut : Al-Qadhi Al-baidhowi,
mengartikan pendidikan (tarbiyah) sebagai membawa sesuatu ke arah kesempurnaan
secara bertahap. Definisi ini amat umum karena mencakup pendidikan manusia,
pemeliharaan binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Definisi ini tidak
diwarnai dengan corak Islam.
Ibnu Sina mengartikan tarbiyah sebagai
pembiasaan. Yang dimaksud dengan pembiasaan adalah melakukan sesuatu
berulang-ulang dalam masa yang lama dan dalam waktu yang berdekatan. Definisi
ini telah menyempitkan bidang tarbiyah pada satus isi saja yaitu “pembiasaan”. Dr.
Miqdad Yajian, mengklasifikasikan pengertian pendidikan (tarbiyah) Islamiyah sebagai
berikut :
1.
Kurikulum
materi-materi keislaman di sekolah atau madrasah
2.
Sejarah
pendidikan, sejarah lembaga pendidikan atau sejarah tokoh-tokoh pendidikan di
negara Islam
3.
Pengajaran
ilmu-ilmu keislaman
4.
Sistem
pendidikan intergral yang diambil dari arahan dan ajaran Islam yang murni,
serta berbeda dengan pendidikan lain baik Barat ataupun Timur.
Rif’ah Rafi’ Ath Thathawi mendefinisikan
pendidikan sebagai usaha mengembangkan jasmani dan jiwa anak didik semenjak
lahir sampai tua dengan pengetahuan agama dan dunia. Prof. Dr. Abdul Gani Abud
berpendapat bahwa pendidikan Islam yang kita inginkan adalah sebagaimana
pendidikan yang ideal dan sebagaimana seharusnya, yakni pendidikan Islam yang
tujuan dan dasar-dasarnya berdasarkan kepada ruh Islam yang dituangkan Allah
dalam Al-Qur’an yang dicontohkan Rasul dalam hadist. Jadi yang kita inginkan
itu adalah pendidikan yang berada dalam lingkungan kehidupan yang penuh dengan
suasana yang Islami seperti yang digariskan dalam Al-Qur’an dan hadist
Rasulullah.
Berdasarkan beberapa pengertian dari para
ulama diatas maka kami dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu
proses bimbingan dan pengarahan yang dilakukan secara terencana dan bertahap
oleh seorang dewasa kepada terdidik agar memiliki kepribadian muslim sesuai
dengan potensi yang dimiliki.
B. Pendidikan Islam sebagai
Lembaga
Pendidikan Islam yang berlangsung melalui
proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten
yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai
tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah
murid (learner potentials orientation)
yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Karena itu, manajemen
kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan dalam
institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang
nyata.
Kelembagaan pendidikan Islam merupakan
subsistem dari sistem masyarakat atau bangsa. Dalam operasionalnya selalu
mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat. Tanpa sikap
demikian, lembaga pendidikan dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural.
Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan
masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya
berbeda-beda menurut tingkat atau taraf kebutuhan masyarakat. Untuk mengetahui
kesenjangan antara lembaga pendidikan dan masyarakat yang berkenaan dengan
kebutuhan yang meningkat ialah dengan melakukan pengukuran (assessment).
1.
Pendidikan Islam pada Sekolah Umum
Banyak usaha yang dilakukan oleh para ilmuwan
dan ulama karena memperhatikan pelaksanaan pendidikan agama di lembaga-lembaga
pendidikan formal kita, misalnya dalam forum-forum seminar, lokakarya dan
berbagai forum pertemuan ilmiah lainnya. Para ilmuan dan ulama serta kaum
teknokrat sepakat bahwa pendidikan agama di tanah air kita harus disukseskan
semaksimal mungkin sejalan dengan lajunya pembangunan nasional.
Namun, dalam pelaksanaan program pendidikan
agama di berbagai sekolah kita, belum berjalan seperti yang kita harapkan,
karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode, sarana
fisik, dan non fisik, di samping suasana lingkungan pendidikan yang kurang
menunjang suksesnya pendidikan mental-spiritual dan moral.
Beberapa
faktor yang dapat menghambat, antara lain sebagai berikut :
a.
Faktor Eksternal
1)
Timbulnya
sikap orang tua di beberapa lingkungan sekitar sekolah yang kurang menyadari
tentang pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya
pemantapan pendidikan agama disekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang
bersikap demikian disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong
bekerja 20 jam di luar rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada
sekolah untuk mendidik anaknya 2 jam perminggu.
2)
Situasi
lingkungan sekitar sekolah yang dipengaruhi godaan-godaan dalam berbagai ragam
bentuknya, antara lain godaan judi, tontonan yang bernada menyenangkan nafsu
(seperti film porno, permainan ketangkasan berhadiah dan lain-lain). Situasi
demikian melemahkan daya konsentrasi berpikir dan berakhlak mulia, serta
mengurangi gairah belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.
3)
Adanya
gagasan baru dari para ilmuwan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai
problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara
latah mempraktekkan makna yang keliru atas kata-kata terobosan menjadi
mengambil jalan pintas dalam mengejar cita-cita tanpa melihat cara-cara yang halal
dan haram, misalnya budaya menyontek, membeli soal-soal ujian akhir dengan
harga tinggi, perolehan nilai secara aspal.
4)
Timbulnya
sikap frustasi di kalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya tingkat
pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak,
sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.
Setelah tamat sekolah, orang tua harus bersusah payah mencarikan pekerjaan bagi
anaknya. Di sana-sini penuh dengan beban financial yang masih harus ditanggung
oleh mereka. Pendidikan agama terkena dampak dari sikap dan kecenderungan
semacam itu, sehingga apabila guru agama tidak terampil memikat minat murid,
maka efektifitas pendidikan agama tak akan dapat diwujudkan.
5)
Serbuan
dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar negeri semakin
melunturkan perasaan religious (keagamaan) dan melebarkan kesenjangan antara
nilai tradisional dengan nilai rasional teknologis, menjadi sumber transisi
nilai yang belum menentukan arah dalam pemukiman yang baru.
b.
Faktor internal
Perangkat
input instrumen yang kurang sesuai dengan tujuan pendidikan menjadi sumber
kerawanan karena :
1)
Guru
kurang kompeten untuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru
yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternative terakhir, tanpa
menekuni tugas sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa
dedikasi sesuai tuntutan pendidikan.
2)
Penyalahgunaan
manajemen penempatan yang mengalihtugaskan guru agama ke bagian administrasi,
seperti perpustakaan misalnya, atau pekerjaan non-guru. Akibatnya pendidikan
agama tidak dilaksanakan secara programatis.
3)
Pendekatan
metodologi guru masih terpaku kepada orientasi tardisional, sehingga tidak
mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.
4)
Kurangnya
rasa solidaritas antara guru agama dengan guru-guru bidang studi umum, sehingga
timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan agama
tersendat-sendat dan kurang terpadu.
5)
Kurangnnya
waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukkan oleh usaha non-guru
untuk mencukupi kebutuhan ekonomis sehari-hari atau mengajar di sekolah-sekolah
swasta, dan sebagainya.
6)
Hubungan
guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam
situasi informal di luar kelas. Wibawa guru juga hanya terbatas di dalam
dinding kelas, tanpa berpengaruh di luar kelas/sekolah.
2.
Pendidikan Islam pada Madrasah
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah
sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan
berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat (umat) yang didasari oleh rasa
tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada generasi penerus. Oleh
karena itu, madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada pendalaman ilmu-ilmu Islam.
Madrasah dalam bentuk tersebut tercatat dalam
sejarah bahwa keberadaannya telah berperan serta dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah mengambil
langkah-langkah untuk mengadakan penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan
madrasah sejalan dengan laju perkembangan dan aspirasi masyarakat.
Penyempurnaan dalam peningkatan mutu pendidikan madrasah itu meliputi :
penataan kelembagaan, peningkatan sarana dan prasarana, kurikulum dan tenaga
guru.
Lembaga pendidikan dalam bentuk madrasah
jumlahnya cukup banyak, tetapi terbesar adalah berstatus swasta. Menurut
Sekretaris Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama,
Komarudin Amin, mayoritas madrasah, baik ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP),
maupun Aliyah (SMA), di Indonesia merupakan lembaga swasta. Komarudin
memaparkan, jumlah madrasah di Indonesia sekitar 67.300 institusi dan 80% di antaranya
berstatus swasta.
Jumlah madrasah yang cukup besar di Indonesia
memberikan andil yang besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, ciri khas madrasah yang menitikberatkan pendidikan agama (mula-mula 100%
agama kemudian 30% umum dan 70% agama), dipandang kurang mampu membekali
peserta didik untuk bisa hidup di dunia yang semakin maju, yang membutuhkan
penguasaan iptek untuk menghadapinya. Lulusan madrasah kurang bersaing di
bidang penggunaan iptek di bandingkan anak-anak lulusan sekolah umum. Padahal,
orang memerlukan kehidupan yang layak sebagai warga negara Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintah berusaha untuk
meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah umum yang setingkat.
Usaha itu diwujudkan dengan keluarnya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang
kemudian dikenal dengan SKB 3 M. Yang dimaksud dengan SKB 3 M yaitu keputusan
bersama antara Menteri Agama dengan SK No. 6 Tahun 1975, Menteri P&K dengan
SK No. 37/U/1975 dan Menteri Dalam Negeri dengan SK No. 36 Tahun 1975,
tertanggal 24 Maret 1975 tentang Peningkatan Mutu Madrasah.
Madrasah SKB 3 M yaitu lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang
diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Sedangkan
sebelum SKB 3 M, komposisi kurikulum madrasah yaitu 70% pelajaran agama dan 30%
pelajaran umum.
Adapun tujuan SKB 3 M ialah meningkatkan mutu
madrasah agar tingkat pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama
dengan sekolah umum yang setingkat, yakni: (1) Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk
tingkatan dasar, (2) Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, (3)
Madrasah Aliyah (MA) untuk tingkatan SMA.
Dengan
pernyataan tingkat mutu tersebut maka:
1.
Ijazah
madrasah memiliki nilai yang sama dengan nilai ijazah dari sekolah umum yang
setingkat;
2.
Murid
madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat; dan
3.
Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi.
Untuk mencapai tingkatan yang sama dengan
sekolah umum, usaha peningkatan yang akan dilakukan meliputi: (1) masalah
kurikulum; (2) buku pelajaran, alat pelajaran dan sarana pelajaran pada
umumnya; dan (3) masalah pengajar/pendidik. Dengan usaha peningkatan tersebut
maka tingkat pendidikan umum pada madrasah akan setingkat dengan pendidikan
umum pada sekolah umum, sehingga :
1.
Standar
pelajaran umum MI sama dengan standar pelajaran umum di SD
2.
Standar
pelajaran umum di MTs sama dengan standar pelajaran umum di SMP
3.
Standar
pelajaran umum di MA sama dengan standar pelajaran umum di SMA.
Dengan adanya SKB 3 M ini, maka tugas dan
fungsi madrasah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional makin
mantap dan kuat sehingga lulusan madrasah bisa memperoleh kesempatan yang sama
dengan lulusan sekolah umum sebagai warga Negara yang memiliki hak dan
kewajiban.
C. Pendidikan Islam
Sebagai Disiplin Ilmu
Sumber utama pendidikan Islam sebagai
disiplin ilmu adalah kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. serta
pendapat para sahabat dan para ulama atau ilmuwan muslim sebagai tambahan.
Sebagai disiplin ilmu, pendidikan Islam bertugas pokok mengilmiahkan wawasan
atau pandangan tentang kependidikan yang terdapat di dalam sumber-sumber pokok
dengan bantuan dari pendapat para sahabat dan ulama atau ilmuwan muslim.
Dalam sumber-sumber pokok itu terdapat
bahan-bahan fundamental yang mengandung nilai kependidikan atau
implikasi-implikasi kependidikan yang masih berserakan. Untuk dibentuk suatu
ilmu pendidikan Islam, bahan tersebut perlu disistematisasikan dan
diteorisasikan sesuai dengan kaidah (norma-norma) yang ditetapkan dalam dunia
pengetahuan.
Dunia ilmu pengetahuan yang akademik telah
menetapkan norma-norma, syarat-syarat, dan kriteria-kriteria oleh suatu ilmu
yang ilmiah. Persyaratan keilmuan yang ditetapkan itu tampak bersifat sekuler,
dalam arti bahwa mengilmiahkan suatu pandangan atau konsep dalam banyak
seginya, yang melibatkan nilai-nilai ketuhanan dipandang tidak rasional karena
metafisik dan tidak dapat dijadikan dasar pemikiran sistematis dan logis.
Nilai-nilai ketuhanan berada di atas nilai keilmiahan dan ilmu pengetahuan.
Agama adalah bukan ilmu pengetahuan, karena
bukan ciptaan budaya manusia. Agama adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada
umat manusia melalui rasul-rasulnya untuk dijadikan pedoman hidup yang harus
diyakini kebenarannya. Ilmu pengetahuan pendidikan Islam pada khususnya
tersusun dari konsep-konsep dan teori-teori yang disistematisasikan menjadi suatu
kebulatan yang terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain saling
berkaitan. Teori tersebut dijadikan pedoman untuk melaksanakan proses
kependidikan Islam itu. Antara teori dengan proses operasionalisasi saling
berkait, yang satu sama lain saling menunjang bahkan saling memperkokoh.
Sebagai suatu disiplin ilmu, pendidikan Islam
merupakan sekumpulan ide-ide dan konsep-konsep intelektual yang tersusun dan
diperkuat melalui pengalaman dan pengetahuan. Jadi, mengalami dan mengetahui
merupakan pengokoh awal dari konseptualisasi manusia yang berlanjut kepada
terbentuknya ilmu pengetahuan itu. Untuk itu Nabi Adam as. diajarkan nama-nama
benda terlebih dahulu sebagai dasar konseptual bagi pembentukan ilmu
pengetahuannya.
Dengan kata lain, ilmu pendidikan Islam harus
bertumpu pada gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaman empiris yang
terdiri atas fakta atau informasi untuk diolah menjadi teori yang valid yang
menjadi tempat berpijaknya suatu ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, ilmu
pendidikan Islam dapat dibedakan antar ilmu pengetahuna teoritis dan ilmu
pendidikan praktis. Justru ilmu pendidikan Islam menuntut adanya teori yang
dijadikan pedoman operasional dalam lapangan praktik pendidikan.
Pengetahuan kita tentang apa, bagaimana, dan
sejauh mana pandangan Islam tentang kependidikan yang bersumberkan Al-Qur’an,
dapat kita jadikan bahan untuk merumuskan konsepsi pendidikan Islam teoritis
dan praktis yang dilaksanakan (fleksibel) dalam lapangan operasional. Ada tiga
komponen dasar yang harus dibahas dalam teori pendidikan Islam yang pada
gilirannya dapat dibuktikan validitasnya dalam operasionalisasi, yaitu :
1.
Tujuan
pendidikan Islam harus dirumuskan dan ditetapkan secara jelas dan sama bagi
seluruh umat Islam sehingga bersifat universal.
Meskipun tujuan
pendidikan itu beridealitas tinggi, namun bila metode dan materinya tidak
memadai, maka proses kependidikan tersebut akan mengalami kegagalan. Oleh
karena itu, tujuan pendidikan tidak dapat berwujud dalam suatu proses yang
kedap metode dan isi (content). Jika
pendidikan Islam menetapkan tujuan yang berbeda-beda menurut idealitas cultural
masyarakat masing-masing, maka manusia ideal menurut citra Islam yang bernilai
universal tak akan dapat mencerminkan hakikat Islam akan kualitas moral dan ideal
yang berbeda-beda pula. Padahal Islamic
way of life telah ditetapkan oleh ajaran Al-Qur’an di mana ilmu pendidikan Islam
harus mengacu kepadanya.
Sebagai esensinya,
tujuan pendidikan Islam yang yang sejalan dengan tuntutan Al-Qur’an itu tak
lain adalah sikap penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. yang telah
kita ikrarkan dalam shalat sehari-hari.
“Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam” (QS. Al An’am : 162).
Dengan demikian, kita
tidak menghendaki rumusan-rumusan lain yang ditetapkan oleh ahli pikir yang
orientasinya tidak mengacu kepada petunjuk Al-Qur’an. Bagi umat Islam,
Al-Qur’an adalah kriteria dasar yang dipakai untuk menetapkan segala hal yang
bercorak Islami.
2.
Metode
pendidikan Islam yang kita ciptakan harus berfungsi secara efektif dalam proses
pencapaian tujuan pendidikan Islam itu.
Komprehensivitas daripada tujuan
pendidikan itu harus paralel dengan keanekaragaman metode, mulai dari metode
verbalistik-simbolisme sampai kepada berinteraksi langsung dengan situasi
belajar mengajar, misalnya kegiatan belajar dengan berdiskusi.
Metode Islami atau Al-Qur’ani
al-hikmah dan maukizhah al-hasanah serta mujadalah yang paling baik, menuntut
kepada pendidik untuk berorientasi kepada educational
needs dari anak didik, dimana faktor human
nature (Fitrah) yang potensial tiap pribadi anak dijadikan pusat proses
kependidikan sampai kebatas maksimal perkembangannya. Misalnya, mengajar sesuai
dengan tingkat kemampuan kejiwaannya, memberi contoh teladan yang baik,
mendorong kreatifitas dalam berfikir, menciptakan suasana pembelajaran yang
menguntungkan (di waktu marah atau sesak dada, guru tidak boleh mengajar).
3.
Irama
gerak yang harmonis antara metode dan tujuan pendidikan dalam proses akan
mengalami vakum bila tanpa kehadiran nilai atau ide.
Secara prinsipal, isi (content) yang diwujudkan dalam
kurikulum, mengandung makna sebagai petunjuk (baik bagi guru maupun murid)
kearah pengembangan kualitas hidup manusia selaku khalifah di atas bumi, yang
memiliki kepribadian yang utuh dalam hidup mental-rohaniah (iman dan takwa) dan
material-jasmaniah (kemampuan jasmaniah) yang tinggi yang seimbang dan serasi.
Konsepsi Al-Qur’an tentang ilmu
pengetahuan, tidak membeda-bedakan antara ilmu pengetahuan agama dan umum.
Kedua jenis ilmu pengetahuan itu merupakan kesatuan yang tak dapt
dipisah-pisahkan karena semuai ilmu adalah merupakan manifestasi dari ilmu
pengetahuan yang satu, yaitu ilmu pengetahuan Allah. Oleh karena itu, dalam Islam
tidak dikenal adanya ilmu pengetahuan yang religius dan non religius (sekuler).
Klasifikasi ilmu pengetahuan yang
ditetapkan oleh para filsuf seperti al-Farabi, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Sina
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan Islam, baik yang paling eksternal sekalipun
memiliki ciri sakral, selama ilmu-ilmu itu setia kepada prinsip-prinsip
kewahyuan, karena semua ilmu pengetahuan bersumber dari firman Allah SWT.
Seperti yang dinyatakan dalam wahyu pertama yaitu surah Al-Alaq : 1-5.
Dalam klasifikasi sains dari para ahli pikir muslim,
tidak ditemukan adanya diskriminasi antara ilmu religious dan ilmu sekuler,
semuanya merupakan ilmu-ilmu yang wajib dipelajari oleh umat Islam. Dengan
demikian, content (kurikulum)
pendidikan Islam harus mencerminkan jenis-jenis sains yang dibutuhkan oleh
manusia muslim untuk menunjang tugas sebagai mandataris Tuhan di atas bumi.
Pendidikan Islam saat ini masih berada pada
garis marginal masyarakat, belum memegang peran sentral dalam proses
pembudayaan umat manusia dalam arti sepenuhnya. Untuk itu, ilmu pendidikan Islam
yang menjadi pedoman operasionalisasi pendidikan perlu dikembangkan sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan dalam dunia akademik, yaitu sebagai berikut :
Memiliki objek pembahasan yang jelas dan khas
pendidikan yang Islami meskipun memerlukan ilmu penunjang dari yang non Islami.
a.
Mempunyai
wawasan, pandangan, asumsi, hipotesis serta teori dalam lingkup kependidikan
yang Islami yang bersumberkan ajaran Islam.
b.
Memiliki
metode analisis yang relevan dengan kebutuhan perkembangan ilmu pendidikan yang
berdasarkan Islam, beserta system pendekatan yang seirama dengan corak keislaman
sebagai kultur.
c.
Memiliki
struktur keilmuan yang sistematis mengandung totalitas yang tersusun dari
komponen-komponen yang saling mengembangkan satu sama lain dan menunjukkan
kemandiriannya sebagai ilmu yang bulat.
Oleh karena itu, suatu ilmu yang ilmiah harus
bertumpu pada adanya teori-teori, maka teori-teori pendidikan Islam juga harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1)
Teori
harus menetapkan adanya hubungan antara fakta yang ada
2)
Teori
harus mengembangkan sistem klasifikasi dan struktur dari konsep-konsep, karena
alam kita tidak menyediakan sistem siap pakai untuk itu.
3)
Teori
harus mengikhtisarkan (ringkas) sebagai fakta, kejadian-kejadian, oleh
karenanya maka sebuah teori harus dapat menjelaskan sejumlah besar fakta
4)
Teori
harus dapat meramalkan fakta atau kejadian-kejadian karena tugas sebuah teori
adalah meramalkan kejadian-kejadian yang belum terjadi.
Adapun corak teoritis dari ilmu pendidikan Islam
itu hendaknya disusun secara sistematis yang well-organized, yang mampu memberikan deskripsi tentang adanya
fakta dari pengalaman operasional dalam bentuk pengertian sesederhana mungkin
(Gilbert Sax, 1968 : 15-16).
D. Pendidikan Islam sebagai
Nilai
Pendidikan selain mengandung unsur pengalihan
pengetahuan, keterampilan, juga mengandung unsur penanaman nilai. Bahkan, tidak
sedikit ahli pendidikan yang memandang penanaman nilai-nilai yang erat
kaitannya dengan pembentukan watak pribadi peserta didik merupakan bagian
hakiki pendidikan. Tokoh pendidikan nasional Indonesia telah menekankan bahwa,
kegiatan pendidikan mempunyai dua aspek pokok, yaitu :
a.
aspek
pengajaran dan latihan sebagai sarana penyampaian pengetahuan dan keterampilan
yang bermanfaat baik bagi pribadi peserta didik maupun masyarakat
b.
aspek
pembudayaan kepribadian melalui pendidikan budi pekerti.
Penanaman nilai-nilai merupakan bagian hakiki
pendidikan, maka bagi mereka yang mempersiapkan diri menjadi pendidik merupakan
suatu kewajiban untuk mendalami aksiologi atau ilmu tentang nilai-nilai, baik
itu nilai estetis, nilai moral, maupun nilai spiritual. Pertanyaan pokok yang
muncul disini adalah nila-nilai mana yang seharusnya atau paling tidak
selayaknya ditanamkan dalam proses pendidikan. Jawaban atas pertanyaan ini
tentu saja ada berbagai macam sesuai dengan filsafat hidup yang dianut oleh
lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Untuk lembaga-lembaga pendidikan di indonesia
yang menganut falsafah hidup pancasila, semestinya dibicarakan tentang
penanaman nilai-nilai Pancasila dalam proses pendidikan. Dan untuk
lembaga-lembaga pendidikan agama Islam memiliki falsafah hidup “Islami”, maka
semestinya yang dibicarakan adalah tentang penanaman nilai-nilai islami dalam
proses pendidikan. ISLAM memandang nilai sebagai sesuatu yang absolut dan
relatif sekaligus.
Perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan
(wahyu) yang dinyatakan secara jelas dan tegas dalam kitab suci lebih khusus
lagi pada dimensi ibadah khas, bagi Islam merupakan nilai-nilai yang absolute
sedangkan norma-norma kemanusiaan merupakan nilai-nilai yang relatif. Pada
nilai pertama, karena bersifat absolute
dan berlaku universal bagi semua kaum muslimin tanpa melihat kapan dan dimana
ia hidup , maka nilai-nilai tersebut harus diterima dan dilaksanakan apa
adanya. Sedangkan pada nilai yang kedua, karena bersifat relativis, maka selama
tidak bertentangan nilai-nilai universal (wahyu), manusia dipersilahkan untuk
mengembangkan kreativitasnya. Pada nilai-nilai muamalat ini, tidak mesti sama
antara umat Islam yang satu dengan umat Islam yang lainnya, yang hidup pada
masa dan tempat yang berbeda.
Agama Islam yang diwahyukan Allah kepada
Muhammad SAW. Pada hakekatnya merupakan suatu ajaran yang sarat dengan
nilai-nilai, baik nilai yang absolut universal maupun nilai-nilai yang yang
bersifat relatif. Hal tersebut missalnya dapat ditangkap dari beberapa
informasi wahyu dan sunnah Rasul seperti sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya aku
diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Akhlak mulia dimaksud
adalah meliputi akhlak mulia kepada Allah SWT. Atau dimensi Ubudiyah dan akhlak
mulia kepada sesama manusia (muamalat) dan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
Aspek nilai dalam Islam, meskipun dapat
dibedakan ke dalam kategori yang ubudiyah dan mu’amalat namun nilai dan
moralitas Islami sesungguhnya bersifat menyeluruh (komprehensif) dan terpadu
(integral), tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu dengan yang
lain berdiri sendiri. Nilai-nilai tersebut, bila dilihat secara noratif mengandung
dua kategori yaitu pertimbangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, hak
dan bathil, diridhoi dan dikutuk oleh Allah SWT. Nilai-nilai mengandung lima
pengertian kategorial yang enjadi prinsip standarisasi perilaku manusia yaitu :
1)
Wajib
atau fardhu, yaitu bila dikerjakan
orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang akan endapat siksa Allah
SWT.
2)
Sunnah
atau mustahab, yaitu bila dikerjakan
orang akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan orang tidak akan mendapat
siksa.
3)
Mubah
atau jaiz yaitu bila dikerjakan orang
tidak akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan juga tidak akan mendapat siksa.
4)
Makruh
yaitu bila dikerjakan orang tidak akan disiksa, hanya tidak disukai oleh Allah
dan bila ditinggalkan orang akan mendapat pahala.
5)
Haram
yaitu bila dikerjakan orangg akan mendapat siksa dan bila ditinggalkan akan
mendapat pahala.
Nilai-nilai yang tergolong ke dalam lima
kategori tersebut bersifat operatif dan berlaku dalam situasi dan kondisi
biasa. Apabila manusia dalam situasi dan kondisi darurat (terpaksa),
peberlakuan nilai-nilai tersebut bisa berubah. Sebagai contoh pada waktu orang
berada dalam situasi dan kondisi kelaparan karena tidak ada makanan yang halal,
maka orang diperbolehkan memakan makanan yang dalam keadaan biasa haram, seperti
daging babi, anjing, bangkai dan sebagainya.
Pendidikan Islam memiliki tujuan pokok yaitu
membentuk pribadi muslim. Pribadi muslim dimaksud adalah pribadi yang segala
dimensi kehidupannya senantiasa diwarnai oleh nilai-nilai Islami. Pribadi yang
dalam segala dimensi kehidupannya diwarnai oleh nilai-nilai Islami inilah yang
disebut denagn pribadi akhlakul karimah. Hakekat tujuan pendidikan Islam adalah
membentuk manusia berkeribadian muslim.
Maka kurikulum dan pelaksanaan pendidikan Islam
sangat menekankan pentingnya penanaman nilai-nila moral agama. Isi kurikulum
dan tata cara pelaksanaan pendidikan Islam boleh jadi bersifat variatif, tetapi
nilai-nilai Islami tetap dikedepankan atau dihadirkan sebagai pengontrol
operasionalisasi pendidikan.